Pengantar Ilmu Waris 

Ilmu waris adalah ilmu yang sangat sedikit sekali dipelajari untuk saat ini. Dalam hadits marfu’ disebutkan, “Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faroidh (ilmu waris) dan ajarkanlah karena ilmu tersebut adalah separuh ilmu dan saat ini telah dilupakan. Ilmu warislah yang akan terangkat pertama kali dari umatku.” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi. Hadits ini dho’if).

Itulah kemuliaan ilmu waris karena Allah Ta’ala telah merinci dalam Al Qur’an mengenai hitungan warisan. Dan Allah yang memberikan hukum seadil-adilnya. Beda dengan anggapan sebagian orang yang menganggap hukum Allah itu tidak adil karena suuzhonnya pada Sang Kholiq.

 Apa perbedaan antara waris, hibah dan wasiat?

Ada pertanyaan yang biasa muncul seperti ini. Ada orang tua yang sudah membagi-bagi harta yang ia miliki kepada anak-anaknya sebelum ia meninggal dunia, apakah itu termasuk dalam waris, hibah ataukah wasiat?

Pengertian HIBAH?

Jika orang tua membagi-bagi harta kepada anak-anaknya ketika ia hidup, maka statusnya adalah sebagai hibah. Ada beberapa point penting yang perlu diingatkan tentang masalah hibah ini:

Pengertian WASIAT?

Adapun jika orang tua membagi harta dan kepemilikannya nantinya setelah orang tua meninggal dunia, maka dianggap sebagai wasiat. Namun wasiat tidaklah boleh dibagi untuk ahli waris.

Dari ‘Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ لِكُلِّ وَارِثٍ نَصِيبَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ فَلاَ يَجُوزُ لِوَارِثٍ وَصِيَّةٌ

Sesungguhnya Allah membagi untuk setiap ahli warisnya sudah mendapatkan bagian-bagiannya. Karenanya tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris.

(HR. Ibnu Majah, no. 2712; Tirmidzi, no. 2121. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan setiap orang mendapatkan jatahnya masing-masing. Tidak ada wasiat untuk ahli waris.

(HR. Tirmidzi, no. 2713; Abu Daud, no. 2870, 3565. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Namun kalau yang diberi wasiat adalah selain ahli waris, itu boleh. Namun wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggal sebagaimana penjelasan dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash berikut.

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ ، أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَ بِى مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى ، وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ لِى وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَىْ مَالِى قَالَ « لاَ » . قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ « لاَ » . قُلْتُ فَالثُّلُثِ قَالَ « وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِى فِى امْرَأَتِكَ »

Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” (HR. Bukhari, no. 4409; Muslim, no. 1628).

Dan jika setelah meninggal dunia yang diberi adalah anak-anaknya, maka statusnya adalah waris dan dibagi menurut hukum waris, bukan dibagi sebagai wasiat.

Pengertian Waris?

Perlu diingat bahwa pembagian wasiat tadi tetap memperhatikan pembagian dalam hukum waris, bukan berdasarkan kesepakatan di antara anak-anak. Akan tetapi bisa saja anak-anak memberikan jatahnya atau bagiannya setelah waris itu dibagi dan jadi miliknya.

Misal jika ada orang tua mengatakan pada anak-anaknya, “Jika bapak meninggal, maka anak pertama silakan mengambil bagian tanah, anak kedua silakan mengambil rumah, anak ketiga silakan mengambil pabrik, anak perempuan silakan mengambil mobil.” Seperti ini adalah wasiat yang batil. Namun jika kasus di atas yang diberikan adalah selain ahli waris, maka boleh dengan catatan tidak lebih daripada sepertiga. Wajib bagi kita untuk memberikan jatah warisan kepada setiap ahli waris yang berhak mendapatkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 7)

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah:

 قال رسول الله ألحقوا الفرائض بأهلها

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Berikanlah setiap hak warisan kepada orang yang berhak mendapatkannya,’”
(HR Bukhari).

Sebelum membahas hukum wasiat & waris dalam Islam, mari kenali dulu definisi dari ahli waris dalam hukum waris Islam. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Ahli waris dari laki-laki ada 10:

  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
  3. Ayah
  4. Kakek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara laki-laki
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan)
  7. Paman
  8. Anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh
  9. Suami
  10. Laki-laki yang memerdekakan budak

Ahli waris dari perempuan ada 7:

  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya ke bawah
  3. Ibu
  4. Nenek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara perempuan
  6. Istri
  7. Wanita yang memerdekakan budak

Hak waris yang tidak bisa gugur:

  1. Suami dan istri
  2. Ayah dan ibu
  3. Anak kandung (anak laki-laki atau perempuan)

Yang tidak mendapatkan waris ada tujuh:

  1. Budak laki-laki maupun perempuan
  2. Budak yang merdeka karena kematian tuannya (mudabbar)
  3. Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan melahirkan anak dari tuannya (ummul walad)
  4. Budak yang merdeka karena berjanji membayarkan kompensasi tertentu pada majikannya (mukatab)
  5. Pembunuh yang membunuh orang yang memberi waris
  6. Orang yang murtad
  7. Berbeda agama

Pengertian Ashobah

 Ashobah yaitu orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.

Urutan ‘ashobah dari yang paling dekat:

  1. Anak laki-laki
  2. Anak dari anak laki-laki (cucu)
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  6. Saudara laki-laki seayah
  7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
  9. Paman
  10. Anak paman (sepupu)
  11. Jika tidak didapati ‘ashobah, baru beralih ke yang memerdekakan budak

Pengertian Ashabul Furudh 

Ashabul furudh yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar yang telah ditentukan dalam kitabullah.

Kadar waris untuk ashabul furudh:

  1. 1/2
  2. 1/4
  3. 1/8
  4. 2/3
  5. 1/3
  6. 1/6

Ashabul furudh yang mendapatkan 1/2 ada lima:

  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
  3. Saudara perempuan seayah dan seibu
  4. Saudara perempuan seayah
  5. Suami jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki

Ashabul furudh yang mendapatkan 1/4 ada dua:

  1. Suami jika istri memiliki anak atau cucu laki-laki
  2. Istri jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki

Ashabul furudh yang mendapatkan 1/8:

Ashabul furudh yang mendapatkan 2/3 ada empat:

  1. Dua anak perempuan atau lebih
  2. Dua anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) atau lebih
  3. Dua saudara perempuan seayah dan seibu atau lebih
  4. Dua saudara perempuan seayah atau lebih

Ashabul furudh yang mendapatkan 1/3 ada dua:

  1. Ibu jika si mayit tidak dihajb
  2. Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan  yang seibu

Ashabul furudh yang mendapatkan 1/6 ada tujuh:

  1. Ibu jika memiliki anak atau cucu, atau memiliki dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan
  2. Nenek ketika tidak ada ibu
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan masih ada anak perempuan kandung
  4. Saudara perempuan seayah dan masih ada saudara perempuan seayah dan seibu
  5. Ayah jika ada anak atau cucu
  6. Kakek jika tidak ada ayah
  7. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

Pengertian Hajb

Hajb atau penghalang dalam waris:

  1. Nenek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ibu
  2. Kakek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ayah
  3. Saudara laki-laki seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu (laki-laki atau perempuan), ayah dan kakek ke atas
  4. Saudara laki-laki seayah dan seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, dan ayah
  5. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah dan saudara laki-laki  seayah dan seibu

SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?

Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”
[An-Nisa/4 : 11]

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…”
[An-Nisa/4 : 176]

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya

 فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ

(ini adalah ketetapan dari Allah), dan firmanNya

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ

(itu adalah ketentuan Allah).
[Lihat surat An Nisa` ayat 11,13 dan 176].

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Jalla Jalaluhu pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya.

Ancaman terhadap orang-orang yang mengubah-ubah ketentuan warisan

Melaksanakan ketentuan hukum waris sebagaimana yang telah Allah Ta’ala tetapkan adalah sebuah kewajiban. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang telah kami kutip sebelumnya,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

“(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 12)

Oleh karena itu, tidak boleh mengubah-ubah ketentuan dalam pembagian harta warisan dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ؛ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah batasan-batasan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar.

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 13-14)

Kesimpulan, boleh orang tua membagikan hartanya semasa hidupnya kepada anak-anaknya namun statusnya adalah sebagai hadiah. Akan tetapi jika itu setelah kematian, maka statusnya sebagai warisan dan pembagiannya sesuai dengan jatah dalam Al-Qur’an. Adapun jika selain ahli waris, maka statusnya adalah sebagai wasiat asal tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan.

© 2024 By JannahQu