Pada kesempatan yang bahagia ini kita akan membahas tentang hakikat dari hijrah. Kita sering mendengar di zaman ini kalimat “seseorang telah berhijrah” sebagaimana yang kita pahami berarti seseorang telah meninggalkan masa jahiliahnya, kebiasaan buruknya, kemaksiatan yang pernah dilakukan menuju kepada tobat dan meniti jalan Rasulullah ﷺ. Dari situlah timbul istilah hijrah. Ini adalah istilah yang syari, dan kita akan membahas hakikat hijrah itu apa.
Hijrah dalam bahasa arab berarti (اَلهِجْرَةُ). Secara bahasa artinya (اَلتَّرْكُ) artinya meninggalkan, seperti firman Allah ﷻ
وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا
“Tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.”
(Qs Al-Muzammil ayat 10)
Adapun secara istilah bermakna meninggalkan suatu tempat ke tempat yang lain.
Hijrah terbagi menjadi dua, yang pertama hijrah dengan tubuh dan anggota badan atau (اَلْهِجْرَةُ بِالْجَسَدِ/ اَلْهِجْرَةُ اَلحِسِيَّةُ), dan yang kedua hijrah dengan hati atau (أَلْهِجْرَةُ بِالْقَلْبِ/اَلْهِجْرَةُ اَلْمَعْنَوِيَةُ).
Hijrah dengan jasad atau anggota badan terbagi menjadi beberapa macam, dan ini pernah dipraktikkan nabi yaitu berhijrah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Di antara macam macamnya adalah :
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
(QS. Al An’am: 68)
Hijrah karena menyelamatkan diri dan jiwa. Ini juga boleh dilakukan dan ini benar benar terjadi di dunia. Seseorang pergi meninggalkan suatu tempat dengan niat karena Allah dalam rangka menyelamatkan diri agar dapat beribadah kepada Allah. Di antara contohnya adalah hijrahnya nabi Musa. Allah berfirman,
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir.”
(QS. Al-Qashash: 21)
Nabi Musa meninggalkan negeri Mesir menuju Madyan dengan rasa takut karena akan dikejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya.
Sedangkan hijrah ma’nawiyah atau hijrah dengan hati. Maka ini berkaitan dengan hati yaitu adalah berhijrah dari ketaatan kepada setan menuju ketaatan kepada Allah. Juga bisa diartikan hijrah dari tawanan hawa nafsu menuju kepada Allah, dari takut, berharap atau tawakal kepada selain Allah menuju kepada jalan Allah.
Adapun dalil tentang hal ini nabi pernah bersabda dalam hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muslim yang sejati adalah orang yang orang Islam lainnya selamat dari gangguan lisannya dan gangguan tangannya, dan muhajir yang sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allahﷻ.
(HR. Bukhari no. 5070)
Salah satu peristiwa yang bersejarah adalah hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa inilah yang menjadi tolak ditetapkannya Tahun Baru Hijriyah.
Perintah hijrah sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِمَكَّةَ ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ (وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِى مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا )
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya di Mekkah dan beliau diperintahkan untuk berhijrah, lantas turunlah ayat (yang artinya), “Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong” (QS. Al Isra’: 80).”
(HR. Tirmidzi no. 3139) Disebutkan dalam Ar Rohiqul Makhtum (hal. 182)
Pertama: Karena adanya siksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Begitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dakwah secara terbuka, berbagai ancaman mulai diarahkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpikir untuk mencari perlindungan di luar Makkah. Sehingga terjadilah hijrah kaum muslimin ke Habsyah, Thaif, dan kemudian ke Madinah.
Kedua: Adanya kekuatan yang akan membantu dan melindungi dakwah, sehingga memungkinkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan leluasa. Hal ini sebagaimana tertuang dalam isi Baiat ‘Aqabah kedua. Yaitu kaum Anshar berjanji akan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana melindungi anak dan istri mereka.
Ketiga: Para pembesar kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat Makkah menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendusta, sehingga mereka tidak mempercayainya. Dengan kondisi seperti ini, maka beliau ingin mendakwahkan kepada masyarakat lainnya yang mau menerimanya.
Keempat: Kaum muslimin khawatir agama mereka terfitnah. Ketika ‘Aisyah radhiyallahu anha ditanya tentang hijrah, beliau berkata,
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ
“Kaum mukminun pada masa dahulu, mereka pergi membawa agama mereka menuju Allah dan Rasul-Nya karena khawatir terfitnah.”
(HR. Bukhari, no. 3900)
Tatkala keputusan keji untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diambil, turunlah malaikat Jibril ‘alaihis salam membawa wahyu Rabbnya lalu memberitahukan kepada beliau perihal persekongkolan kaum Quraisy tersebut dan izin Allah kepada beliau untuk pergi berhijrah meninggalkan Mekkah. Kemudian Jibril menentukan momen tersebut seraya berkata, “Malam ini, kamu jangan berbaring di tempat tidur yang biasanya.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak belakang ke kediaman Abu Bakr di tengah terik matahari untuk bersama-sama menyepakati tahapan hijrah. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di kediaman Abu Bakr pada siang hari nan terik, tiba-tiba ada seseorang berkata kepadanya, “Ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan menutup wajahnya dengan kain di waktu yang tidak biasa beliau mendatangi kita.”
Abu Bakr berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan untuknya. Demi Allah, beliau tidak datang di waktu-waktu seperti ini kecuali karena ada hal penting.”
Aisyah melanjutkan, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan meminta izin masuk, lantas diizinkan dan beliau pun masuk. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakr, “Keluarkan orang-orang yang berada di sisimu.”
Abu Bakr menjawab, “Mereka tidak lain adalah keluargamu, wahai Rasulullah. Beliau berkata lagi, “Sesungguhnya aku telah diizinkan untuk berhijrah.” Abu Bakr berkata, “Engkau minta aku menemanimu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ya.”
Dan setelah disepakati rencana hijrah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumahnya menunggu datangnya malam.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq, mereka berdua pun keluar dari rumah Abu Bakar malam itu juga menuju gua Tsur (ke arah Yaman).
Para penjahat kelas kakap Quraisy, menggunakan waktu siang mereka untuk mempersiapkan diri guna melaksanakan rencana yang telah digariskan berdasarkan kesepakatan Parlemen Mekkah “Darun Nadwah” pada pagi harinya. Untuk eksekusi tersebut, dipilihlah sebelas orang pemuka mereka, yaitu:
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika malam telah gelap, mereka berkumpul di depan pintu rumah Rasulullah dan mengintai kapan beliau bangun, sehingga dapat menyergapnya.”
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.
(QS Al-Anfal:30)
Rasulullah meninggalkan rumah beliau pada malam tanggal 27 shafar tahun 14 kenabian atau tanggal 12 & 13 september 622 M. Sementara Rasulullah telah berhasil keluar dan menembus barisan- barisan mereka. Beliau memungut setumpuk tanah dari Al-Bathha”, lalu menaburkannya ke arah kepala mereka. Ketika itu, Allah telah mencabut pandangan mereka dari melihat beliau, sehingga tidak dapat melihat beliau. Sedangkan beliau membaca firman-Nya:
وَجَعَلْنَا مِنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ
Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
(QS. Yasin:9)
Nabi telah mengetahui bahwa orang-orang Quraisy akan berupaya keras untuk mencarinya dan jalan yang pertama kali akan disisir oleh mereka adalah jalan utama kota Madinah yang menuju ke arah utara. Oleh karena itu, beliau memilih jalan yang berlawanan arah sama sekali, yaitu jalan yang terletak di selatan Mekkah, yang menuju ke arah Yaman. Beliau menempuh jalan ini sepanjang 5 mil, hingga akhirnya sampai ke sebuah bukit yang dikenal dengan bukit Tsur. Ia adalah bukit yang tinggi. jalannya terjal, sulit didaki dan banyak bebatuan. Kondisi ini membuat kaki Rasulullah lecet.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas dari Abu Bakar, dia berkata, “Aku berada di sisi Nabi di gua, lalu aku mengangkat kepalaku. Ternyata, di situ ada kaki-kaki mereka. Lantas aku berkata, Wahai Rasulullah! Andaikata sebagian mereka menoleh ke bawah pasti dia dapat melihat kita.’ Beliau berkata, ‘Diamlah, wahai Abu Bakar! Kita berdua tapi Yang ketiganya adalah Allah.” Di dalam lafal riwayat yang lain, ‘Apa pendapatmu, bila ada dua orang sedangkan Yang ketiganya adalah Allah?”
Kejadian tersebut merupakan mukjizat yang dianugerahkan oleh Allah kepada nabi-Nya dalam rangka memuliakannya padahal para pelacak Quraisy hanya beberapa langkah lagi mencapai diri beliau. Rasulullah & Abu bakar bersembunyi di Gua Tsur selama 3 hari.
Sebelumnya, mereka Rasulullah & Abu Bakar telah menyewa Abdullah bin Uraiqith Al-Laitsi, yang merupakan penunjuk jalan yang berpengalaman di dalam menelusuri jalan. Dia ketika itu masih menganut agama kaum Kafir Quraisy, namun keduanya menaruh kepercayaan kepadanya dan menyerahkan kedua unta mereka kepadanya.
Ketika malam senin, Awal Rabi’ul Awwal 1 H, atau 16 September 622 M, Abdullah bin Uraiqith menemui Nabi di Gua Tsur. Kemudian Rasulullah keluar dari gua dan memulai perjalanan, jalur pertama yang ambil untuk membimbing mereka adalah arah selatan menuju Yaman, kemudian ke arah Barat menuju pesisir. Lalu setelah tembus ke jalan yang tidak pernah dijejaki orang, dia menuju arah utara, dekat pinggir pantai Laut Merah. Jalur ini sangat jarang ditempuh orang. Kemudian mereka menelusuri beberapa wilayah hingga akhirnya tiba di Quba.
Singgah di Quba Pada hari senin, 8 Rabi’ul Awwal tahun 14 dari kenabian, yaitu tahun pertama dari hijrah, yang bertepatan dengan 23 September 622 M, Rasulullah singgah di Quba”.
Rasulullah tinggal di Quba selama empat hari; Senin, Selasa, Rabu dan Kamis.” Selama itu, beliau mendirikan Masjid Quba dan shalat di dalamnya. Inilah masjid pertama yang didirikan atas fondasi takwa setelah kenabian. Maka begitu masuk hari ke-lima, yakni Hari Jumat, beliau berangkat lagi atas perintah Allah bersama Abu Bakar yang memboncengnya. Beliau juga mengutus orang untuk menemui Bani An- Najjar para paman beliau dari pihak ibundanya. Mereka datang dengan menghunus pedang. Beliau berjalan menuju Madinah namun ketika di perkampungan Bani Salim bin Auf, waktu Jumat sudah masuk, lalu beliau melakukan shalat Jumat bersama mereka di Masjid yang berada di perut lembah itu. Mereka semua berjumlah seratus orang laki-laki.
Seusai shalat Jumat, Nabi memasuki kota Madinah. Dan dari sejak hari itu, kota Yatsrib dinamakan dengan Madinatur Rasul (kota Rasulullah) yang kemudian diungkapkan dengan Madinah supaya lebih ringkas. Hari itu adalah hari bersejarah yang amat agung. Rumah-rumah dan lorong-lorong ketika itu bergemuruh pekikan tahmid (pujian) dan taqdis (penyucian).
Meskipun orang Anshar bukan termasuk orang yg banyak harta, mereka bercita-cita rumahnya disinggahi oleh Rasulullah SAW. Saat melewati satu persatu rumah Anshar, mereka mengambil tali unta beliau, perbekalan, perlengkapan senjata dan tameng agar singgah di rumah mereka. Namun beliau selalu berkata kepada mereka “Biarkan ia lewat karena ia telah diperintahkan.”
Unta itu masih saja berjalan bersama Rasulullah yang menungganginya hingga mencapai lokasi Masjid Nabawi sekarang ini, lalu ia duduk sementara beliau belum turun darinya hingga ia bangkit lagi dan berjalan sedikit lagi, kemudian ia menoleh lantas kembali lagi dan duduk di posisi semula. Barulah beliau turun darinya. Itu adalah kediaman Bani An-Najjar, para paman beliau dari pihak ibundanya. Hal tersebut merupakan taufik Allah kepada mereka. Sesungguhnya beliau sangat ingin singgah di rumah para pamannya tersebut agar dapat memuliakan mereka dengan hal itu. Orang-orang menawari Rasulullah agar singgah di kediaman mereka. Lalu Abu Ayyub Al-Anshari bergegas mengambil sarung pelana milik beliau dan membawanya masuk ke rumahnya. Maka, Rasulullah berkata, “Seseorang akan ikut bersama sarung pelananya.” Lantas datanglah As’ad bin Zurarah sembari mengambil kendali untanya yang kebetulan berada di sisinya.
Abu Bakar dan Nabi (saw) berada di gua dan tidak memiliki jalan keluar. Orang Quraish ada di dekatnya dan mencari mereka. Ketika mereka mendekat, Abu Bakar berbisik kepada Nabi tentang kegelisahannya. Saat itulah Nabi menjawab, “Jangan bersedih hati, Allah beserta kita.”
Hijrah mengajarkan kita tentang persaudaraan. Orang-orang Muslim beremigrasi dari Mekah dengan sedikit atau tanpa harta sama sekali, dan mereka kemudian diterima di Madinah seolah-olah mereka adalah penduduk pribumi.
Hijrah ke Madinah bukanlah rekreasi yang diinginkan orang Muhajirin dan bukan pula karena Makkah merupakan negeri berpenyakit, sehingga mereka gembira dengan berita wajibnya hijrah dari Makkah. Akan tetapi, itu adalah satu perintah yang dibebankan yang berkaitang dengan akidah yang mereka yakini kebenarannya, dan berkaitan dengan karakter risalah Islam yang harus disampaikan kepada orang lain.
Bergegasnya para sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hijrah ke Madinah dengan meninggalkan anak, harta, dan tanah air.
Hal ini mengingatkan kita untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berhati-hati dari mengingkarinya berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
(QS. An-Nuur: 63).
Dulu,
Nabi hijrah itu meninggalkan Makkah yang kejam, memusuhi perbedaan dan tak memberi ruang pada tauhid dan pencerahan.
Dulu,
Nabi hijrah ke Madinah itu untuk membangun peradaban, merukunkan yang bermusuhan, memberi ruang dan penghormatan atas perbedaan, hingga Muslim dan Yahudi pun hidup berdampingan dalam damai di bawah sebuah kesepakatan.
Meski Makkah menorehkan banyak luka, di hati Nabi yang ada hanya rindu dan cinta.
Hijrah tak menjadi sekat pembatas untuk tetap menyapa dan mengikat hati dengan Makkah.
Hijrah tak menjadikan Nabi dan sahabat tak bergaul dengan kelompok lain karena merasa paling beriman dan berjasa membangun Madinah.
Hijrah tak menjadikan Nabi menolak berdialog dengan mereka yang memusuhinya, bahkan tak memasalahkan musuh2nya yang belum mau mengakui risalahnya. Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu buktinya.
Hijrah masa kini diciriutamakan dengan berganti model pakaian, mengikuti pengajian-pengajian yang ditentukan, tak lagi berkawan dengan yang tidak sepemikiran, memandang rendah kepada yang dianggap “belum hijrah” dan menganggap diri lebih islami karena hanya menggunakan produk-produk yang diproduksi dan dijual kawan sendiri.
Padahal, hijrah Nabi yang dikabarkan dalam kitab-kitab sirah nabawiyah tidaklah demikian. Hijrah Nabi justru mendorong pembauran dengan penduduk Madinah yang beraneka suku dan keyakinan. Nabi tak mentang-mentang meski berada di jalur kebenaran. Muamalah dan perdagangan terbuka untuk semua kalangan.
Hijrah Nabi justru mempersatukan kelompok-kelompok yang sebelumnya selalu bermusuhan. Hijrah Nabi tak dipakai untuk menjadi pembeda antara mereka yang hijrahnya lillahi ta’la dengan mereka yang hijrahnya karena perempuan atau harta. Semua diserahkan kepada Allah semata. Nabi hanya menyampaikan pesan langit tentang pentingnya menjaga niat hijrah agar lillahi ta’ala. Itu karena Nabi tahu bahwa hijrah sangat rawan dicemari oleh niat mencari dunia, dan sangat rentan terjebak riya’ berupa pamer kesalehan di hadapan manusia.
Kita selaku hamba, hidup ini untuk mengabdi kepada Allah, apakah kualitas ibadah sudah baik, apakah kuantitas ibadah sudah bertambah, untuk itu mari perbaiki segera dan hijrah. Jika selama ini jarang ke Masjid, mari kita tunaikan shalat lima waktu secara berjamaah dan amalan sunnah lainnya. Mari kita perbaiki ibadah kita kepada Allah.
Selaku orang tua, apakah sudah berbuat adil, mendidik putra putri kita dengan bekal agama yang maksimal, apakah kasih sayang dan cinta untuk keluarga selama ini sudah maksimal. Jika selama ini dalam keluarga masih jauh dari nilai-nilai Islam. Maka hijrahlah ciptakan suasana islami dalam keluarga didiklah anak dengan bekal agama bukan sekedar bekal kehidupan didunia.
Kita sebagai anak, sudahkah berbakti kepada kedua orang tua kita, sudahkah kita berbuat baik, menyenangkan dan membahagiakan orang tua kita. Berbuatlah dan rencanakan untuk berbakti secara terus menerus kepada orang tua kita, bukankah surga di bawah telapak kaki ibu.
Kita selaku guru, tinggalkan model lama yang membosankan dalam mengajar dan mari tingkatkan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Selalu kedepankan ketulusan dan keikhlasan supaya menjadi nilai ibadah. Didik lah putera puteri bangsa dengan sepenuh hati dan penuh inovasi tidak hanya sekedar formalitas mengajar hanya untuk gaji.
Kita sebagai mahasiswa,sudahkah menjadi mahasiswa yang baik, mahasiswa yang taat beribadah, berprestasi di kampus, dan cakap dalam berorganisasi. Sudahkah berbuat baik kepada guru/dosen, menjadi sahabat yang baik bagi mahasiswa yang lain. Beralihlah menjadi mahasiswa yang berbudaya islami dan menjunjung tinggi persaudaraan. Jadilah mahasiswa yang memenuhi harapan orang tua, masyarakat dan orang-orang yang disayangi.
Kita selaku makhluk sosial, Tebarkan kebaikan dan menjadi teladan bagi orang lain, bangunlah komunikasi yang baik dalam masyarakat dan jadilah warga yang baik. Jadilah orang yang peka terhadap persoalan sosial kemasyarakatan dan menjadi solusi bagi umat.
Kita selaku pedagang, jadilah pedagang yang jujur, sportif. dan pedagang yang mengedepankan refleksi sosial bukan keuntungan semata. Berdagang sesuai syar’i dan sunnah Rasulullah agar transaksi bernilai keuntungan dan ibadah.